Majelis Hakim Tegas:"Itu Bukan Penghematan, Itu Merampok dari Para Pemohon! "_Sidang Dugaan Pungli PTSL Desa Trosobo Memanas



Sidoarjo, 10 Juni 2025,BeritaHukumNews_,Kalimat tegas dan penuh kemarahan terlontar dari Ketua Majelis Hakim I Dewa Gede Suarditha dalam sidang lanjutan kasus dugaan pungutan liar (pungli) dalam Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Trosobo, Kecamatan Taman, Sidoarjo. “Itu bukan penghematan, itu merampok dari para pemohon!” tegas Hakim Suarditha dalam ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya di Juanda.


Sidang menghadirkan empat saksi kunci, yakni tiga perangkat desa dan Ketua Panitia PTSL Wahyu Setio Utomo, guna membuktikan dakwaan terhadap dua terdakwa: Kepala Desa nonaktif Heri Achmadi, SH, dan Sari Diah Ratna.


Modus Pengutipan di Luar Ketentuan


Para saksi mengungkapkan adanya pungutan tambahan sebesar Rp 300 ribu kepada pemohon yang membutuhkan surat waris atau hibah, di luar biaya resmi PTSL sebesar Rp 150 ribu yang telah diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. Bahkan, warga masih dibebani biaya pengadaan patok dan materai, yang semestinya sudah termasuk dalam biaya resmi.


“Warga marah karena dimintai Rp 300 ribu. Saya tidak tahu untuk apa. Mereka bilang bayar ke Pak Gunawan,” ujar Mustofa, Kepala Dusun Tanjung.


Gunawan dan Samsuri, dua kepala dusun lainnya, menyebut pungutan tersebut atas perintah Kades Heri Achmadi. Uang dari pungutan kemudian disetorkan ke bendahara dan perangkat lain, bahkan dibagikan saat acara pembubaran panitia di Trenggalek.



Dana Dibagikan, LPJ Belum Selesai


Wahyu Setio Utomo, Ketua Panitia PTSL, menjadi saksi paling dicecar oleh Majelis Hakim dan jaksa. Ia mengaku panitia sempat diminta oleh Kades Heri Achmadi untuk menyisihkan “jatah” sebesar Rp 50 juta. Meski ditolak, Rp 30 juta tetap diberikan atas persetujuan bersama antara Wahyu dan bendahara.


Parahnya, uang dari biaya PTSL yang belum dipertanggungjawabkan melalui Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) itu digunakan untuk rekreasi dan dibagikan ke perangkat desa. Ketika ditanya soal tanggung jawab penggunaan uang sebelum LPJ ditandatangani, Wahyu menjawab, “Saya tidak bisa menjawab masalah itu.”


Reaksi Keras Hakim dan Potensi Jerat Hukum


Majelis Hakim menilai praktik ini sebagai bentuk penyimpangan dan penggelapan dana publik, yang dapat dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001, karena adanya penyalahgunaan jabatan dan penerimaan hadiah atau janji yang bukan haknya.


Ketua Majelis Hakim menyatakan dengan tegas, “Rp 150 ribu itu sudah termasuk patok dan materai, kalau minta lagi berarti merampok. Tambah Rp 2,5 juta kalau mau cepat, tambah Rp 300 ribu untuk hibah, aturan dari mana itu? Uang negara digunakan seenaknya tanpa laporan jelas.”


Sidang Akan Dilanjutkan


Kedua terdakwa memilih untuk tidak menanggapi secara langsung kesaksian dalam persidangan kali ini dan akan memberikan pembelaan melalui nota pembelaan atau pledoi. Sidang lanjutan dijadwalkan pada Selasa, 17 Juni 2025 pukul 09.00 WIB, dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan.


Kasus ini menjadi perhatian publik, mencerminkan pentingnya pengawasan ketat terhadap pelaksanaan program nasional di tingkat desa, agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.(imam) 


Editor yaya

0/Post a Comment/Comments

Kunjungi Kami
Untuk Kebutuhan
Bisnis Anda
Logo Karya Tenda Logo Partner Baru Logo Imparsial News

Recent Comments